Kisah yang diangkat ke dalam novel ini terjadi pada empat belas abad silam, di tengah gurun pasir Arabia, ketika risalah pencerahan Nabi Muhammad SAW telah menyapu seluruh Jazirah Arab dan menyatukan suku-suku yang semula bertikai. Istri kesayangan Rasulullah, yakni Aisyah binti Abu Bakar, yang berjuluk Humaira, melalui novel ini seakan mengisahkan kesaksiannya atas perubahan Muhammad dari seorang nabi menjadi salah satu negarawan yang paling berpengaruh di dunia.

Dengan pusat pengisahan (point of view) orang pertama (Aku), sebagai saksi dan penutur peristiwa, Kamran Pasha begitu berhasil memasuki relung-relung hati dan pikiran, sekaligus kesaksian, Siti Aisyah, dan menuturkan fase terbesar perjuangan Rasulullah beserta romantika kehidupan cintanya, dengan sangat memukau.
Aku tdk mengeluh karena
ada saatnya aku berharap mati
bertahun2 lalu,
atau bhkan tak prnah dilahirkan.

Aku memandangi pepohonan yg hidup
mereka terdiri hanya dari mimpi
akan matahari dan kenangan akan hujan.
Aku cemburu pada mereka.

Ada kalanya aku brharap
aku salah satu bebatuan yang
berjejer di bukit2 di luar Madinah
yg diabaikan dan dilupakan oleh orang2
yg menginjak2 mereka."

--Humairah hal:9 --

Dengan lihai dan tanpa terasa janggal, penutur kesaksian berpindah-pindah ke tokoh-tokoh lain, dengan tetap menggunakan pusat pengisahan orang pertama tunggal (Aku). Sehingga, sosok Siti Aisyah (Humaira) sebagai tokoh utama tidak hanya muncul dari kesaksiannya sendiri, tapi juga dari kesaksian tokoh lain,

seperti kesaksian Abdullah bin Zubair (hlm 599-606). Sementara, kesaksian tentang sosok Rasulullah beserta kemuliaan-kemuliaannya, lebih banyak dituturkan oleh Siti Aisyah. Begitu juga sosok dan karakter para sahabat sejak sebelum masuk Islam.

Dalam Bagian Kedua yang bertajuk Lahirnya Sebuah Kota(hlm 150-167), misalnya dituturkan bagaimana Rasulullah, dengan penuh kasih sayang, memperhatikan Siti Aisyah dan kawan-kawannya sedang bermain kuda-kudaan. Sedangkan kesaksian-kesaksian terhadap peristiwa-peristiwa besar sering juga dituturkan oleh pengarangnya berdasar rujukan dan hasil penelitiannya. Dan, pada tahap ini, sang pengarang kerap menggunakan pusat pengisahan orang pertama jamak (Kami) sebagai saksi dan penutur peristiwa sejarah (hlm 267-384), dan kadang berseling atau berganti Aku.

Maka, novel ini menjadi mata rantai kesaksian-kesaksian panjang tentang kehidupan Siti Aisyah, bersama Rasulullah, para sahabat, juga musuh-musuhnya, dan berbagai peristiwa penting yang melibatkan mereka pada zamannya, yang dituturkan secara memukau. Detik-detik terakhir kehidupan Rasulullah yang sangat mengharukan pun dikisahkan dalam novel ini, yakni detik-detik wafatnya sang Nabi dalam pelukan Humaira, tak lama setelah momen puncak kemenangannya.

Sebagai seorang janda muda yang dihormati, Aisyah pun menemukan dirinya berada di pusat imperium muslim yang baru terbentuk dan kemudian beralih peran sebagai seorang guru bangsa, pemimpin politik, dan bahkan panglima perang.

Materi yang diangkat ke novel ini memang sudah luar biasa. Sebuah awal kelahiran peradaban baru, sekaligus penegakan iman dan Tauhid, yang disertai perjuangan yang penuh intrik dan kekerasan. Penuh konfliksekaligus keteladanan, penuh kekejaman sekaligus cinta dan kasih sayang, penuh kepencundangan sekaligus kepahlawanan, penuh pengkhianatan sekaligus kesetiaan.

Berikut ini kutipan adegan mencekam, ketika Humaira berjalan di tengah pertempuran antara pasukan Ali dan pasukan Muawiyah, dengan tubuh tertutup haudah, di bawah hujan anak panah, melintasi hamparan mayat-mayat korban perang yang berdarah-darah.

Gambaran situasi sepeninggal Rasulullah, ketika perjuangan menegakkan agama Allah telah bergeser menjadi konflik politik dan perebutan kekuasaan antar umat Islam sendiri. "Ketika kegilaan menyebar, untaku melintasi samudra prajurit berjumlah duapuluh ribu yang saling bantai secara brutal. Anak-anak panah menyerang haudahku dari segala sisi, tapi lapisan ganda cincin-cincin besi menyelamatkanku, meski haudah itu kini mulai tampak seperti kulit landak.

Aku berhasil melihat pertempuran melalui sebuah lubang kecil di tirai haudah, tapi yang dapat kulihat adalah pemandangan darah dan kematian yang mengabur serta bau busuk menyengat yang membuatku ingin muntah."

Ditulis dalam prosa yang indah dan berdasarkan riset teliti, novel luar biasa ini menjadi kisah yang sangat menyentuh. Meskipun begitu, pengarangnya, Kamran Pasha, novel ini tetaplah fiksi – karena ia telah mengangkat, mengemas, dan menempatkan kisah-kisah di dalamnya sebagai fiksi. Peranan imajinasi Kamran Pasha, tentu, sangat besar, dalam menuturkan kisah-kisah di dalamnya, dalam merekonstruksi adegan-adegan luar biasa di seputar perjuangan Rasulullah, dengan sudut pandang seorang novelis.

Karena itu, dengan berendah hati, Kamran Pasha tidak ingin menempatkan novelnya ini sebagai rujukan utama sejarah, dan ia pun menyebut sederet buku-buku lain yang harus pembaca jadikan sumber sejarah Islam dan kehidupan Nabi Muhammad, seperti dikatakannya pada catatan penutupnya.

“Buku ini adalah karya fiksi. Kendati berdasarkan pada peristiwa-peristiwa sejarah, buku ini bukanlah sejarah dari peristiwa-peristiwa tersebut,” tegas Kamran Pasha pada catatan penutupnya itu.

Tulisan Yang Berkaitan



January 05, 2011 Posted in | | 11 Comments »

11Komentar:


..aRea waJib NgoMeL..


Silahkan ngomel yang baek2 di sini ^_*. Kalau pengen ngomelin teman yg lain, caranya ketik @ID yang diomelin, trus tulis omelan kamu di bawahnya.


Contoh:


@4827332802306653045.0
Wahhh....blognya siapa neh..?? jelek banget.. :-P