Kejadiannya beberapa bulan yang lalu. Malam belum terlalu larut, mungkin kisaraan jam 7 atau selepas Isya. Aku memacu motorku agak pelan di tengah kepadatan lalu lintas di jalan Sungai Saddang Baru. Ketika berada di perempatan Sungai Saddang dan Veteran Utara, traffic light kuning menyala. Karena yang kutau itu hanyalah sebuah peringatan untuk bersiap-siap berhenti, maka aku pun  melanjutkan laju motorku. Hingga sampai di seberang, seseorang telah berdiri sambil melambaikan tangan ke arahku dengan simpritan yang meraung-raung seperti tukang parkir, meminta aku untuk berhenti. Merasa tidak punya kesalahan apa-apa, aku jadi agak sungkan untuk menghentikan motorku. Sampai aku sadar bahwa akulah objek bergerak yang dimaksud.

“Kenapa, pak” tanyaku penuh selidik bercampur heran. Takutnya emang beneran tukang parkir yang menggadung jadi polisi.

“Ko tauji apa kesalahanmu ?” tanya pak polisi itu dengan senyum yang dibuat-buat. Oh..bukan senyum. Tapi sedikit ketawa. Ketawa yang menjengkelkan bagiku.

“Tidak pak, apakah ?” jawabku judes dengan filing yang nggak enak. Perasaan yang sama setiap nge-date di pinggir jalan dengan polisi lalu lintas kayak gini.

“kenapa ko nyebrang, na menyalami lampu merayya”

“Haahh…!! Tidak deh pak. Masih lampu kuningki ku liat tadi. Kalau lampu merahmi, ku tau sendiri kalau salah ka”

“ah…!! Padahal saya merahmi kuliat tadi waktumu nyebrang. Ka jili jiliko lagi bawa motor”

“Tojenga kodong pak, masih kuningki pak (mata lo kali yang merah). Tidak percayanya inie”



Polisi itu masih juga ketawa sambil merayu-rayu aku supaya mengaku telah melanggar karena menorobos lampu merah, sesuai tuduhannya pada diriku. Kadang juga mengobrol basa basi. Nanya kuliah dan alamat rumah segala. Untung nggak nanya udah punya anak ato belum.

Rayuannya benar-benar tak kuasa aku elakkan. Bukan karena telah mengakui saya salah, cuma karena aku memang tak pernah rajin untuk berdebat dengan yang namanya polisi.  Berdasarkan track record, dari dulu sampe sekarang, aku memang tidak pernah menang kalau sudah berdebat dengan sang pengayom masyarakat, walaupun kebanyakan sebaliknya, malah nyusahin. Dari serentetan cerita antara aku dan dia, belum adapun kisah yang berakhir dengan kemenanganku dalam perdebatan. Semuanya antiklimaks. Isi kantong jadi ludes.

“ STNK dan SIMmu mana ?”

“nih pak, SIM ku jie”

“STNKmu mana ?”

“Ku lupaki pak. Ini juga bukan motorku. Disuruhku ji tadi beli pulsa di dekat situ jadi ku lupai minta STNK na..”

“aihhhh….kau ini !! nu tauji aturannya toh kalau naik motorki orang itu harus bawa STNK”

“Iye, pak. Tapi kan saya juga manusia biasaji kodong pak. Wajarji kalau lupa” jawabku berdiplomasi

“Alasanmu. Beginimi saja dek, kau ikutmi sidang lusa nah. SIMmu aku tahan dulu, nanti di kantor ko ambil.” Katanya sambil mengajukan opsi.

“kayaknya tidak bisaka pak kalau lusa. Full ki kuliahku bela”

“jadi bagemanami, atau kau  “titipmi” saja uangmu dih”

“injoooo….!!! Mulai mi sedeng. Nitip di kantong ya pak maksudnya” pikirku sambil terseyum kecut. “Berapa kah, Pak”

“Yah, sesuai dengan pelanggaranmu. Menorobos lampu merah dan tidak bawa STNK. 60 ribu”

“kenapa mahal sekali, tidak cukup uangku kalau segitu, Pak.”

“ck…ck…ck…jadi berapa ji uangmu di situ”

“20 ribu ji”

“itu mi paeng” simpul pak polisi setelah beberapa detik (pura-pura) berpikir. Terjebak antara Deal or No Deal. Walaupun sebenarnya dah menekan tombol Deal dari tadi…:-P, cuma gengsi karena banyak yang liatin yang kira-kira nasibnya akan sama dengan saya malam itu.

Sudah bersiap-siap mau menyerahkan uang ketika aku ingat kalau uang yang ada di kantongku cuma ada selembar uang seratus ribu.

“Pak, tidak ada uang kecilku. Ini ji, 50 ribu”

“ahhh….kau ini, katanya tidak ada uang kecil. Itumi paeng. Nanti saya tukarkanko di situ di penjual pulsa”

Pak polisi itu bergegas ke konter2 pulsa yang berjejer di sekitar situ. Agak lama juga mencarinya. Saya cuma senyum2 sendiri sambil geleng-geleng kepala. Lucu aja ngeliat pak polisi itu cari tempat nukar uang kecil. Kesannya kayak gimanaaaa…gitu. Mirip banget dengan ibu-ibu yang lari-lari kecil sambil mencari tempat penukaran duit gara-gara sopir pete2nya nggak punya uang kembalian.

 “ini, dek” kata pak polisi itu sambil menyerahkan lembaran 10 ribuan. Sisanya 20 ribu telah dia kantongi.

“Pak…”

“Apa lagi…”

“Sepuluh ribu mi kodong kita ambil. Tidak cukup mi sewa pete2ku ini buat satu minggu”

“edede… Ini kan perjanjianmu tadi. Pergimako sana bawa motormu. Lain kali jangko lupa bawa kelengkapan sebelum bepergian.”

Akupun berlalu dari tempat itu. Tersenyum-senyum dan kadang ketawa sendirian mengingat-ngingat kejadian tadi. Dituduh melanggar, disuruh bayar denda, terus disuruh pergi begitu saja setelah membayar denda sesuai dengan hasil tawar menawar. Tau begitu, kenapa aku nggak tawar 5 ribu aja. Kali aja dia ridho.

Sebenarnya ini bukan pengalaman pertamaku berurusan dengan polisi lalu lintas. Pas lebaran Idul Fitri kemarin aku juga sempat ditilang gara-gara naik motor pake songkok. Kan ceritanya masih suasana lebaran. Polisinya malah jadi marah-marah karena aku kebanyakan nanya dan pura-pura tidak tau dengan isi surat tilang. Akhirnya SIMku ditahan dan sampe sekarang belum pernah saya ambil dikantor polisi.

Pernah juga, waktu aku masih SMP ketika baru belajar naik motor. Kayaknya ini pengalamanku yang paling lucu dengan polisi lalu lintas. Aku dicegat oleh polisi karena bawa motor yang tidak pake spion. Maklum motor baru, jadi belum sempat dipasangi alat-alatnya. Platnya juga masih duplikat. Nah, ketika si Polisi itu akan turun dari motornya, saya malah langsung stater dan tancap gas menuju rumahku yang kebetulan tidak jauh. Kirain polisi itu akan diam saja dan berbalik pulang. Eh, tidak taunya dia malah ngejar saya sampe di kolong rumahku (kebetulan rumah panggung). Padahal rumahku berada di dalam lorong sempit. Pas saya didapat dia marah-marah karena merasa tidak dihargai, dan pikirnya pake sembunyi2 di rumah orang lagi.

“Kau ini, kurang ajar sekaliko, dek. Saya tadi cuma mau menegur kenapa motormu tidak pake spion,  kamu malah kabur ? Ini lagi, kenapa masukko di rumahnya orang sembunyi ?”

Mendengar kegaduhan itu, sepupuku turun dari rumah dan menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Kebetulan dia kenal baik dengan polisi itu.

“Dia sepupuku, Pak. Di siniki memang tinggal.”

“ouuu…untung sepupumu ji. Cobanya tidak, saya tamparmi tadi”

Kenal bukan berarti gratis. Aku juga tetap didenda 90 ribu itu hari, sekaligus sebagai alasan buat aku untuk mendapatkan SIM…hehehe…

Polisi oh polisi….Walaupun sudah banyak kena denda, aku masih selalu tersenyum mengenang kisah kita berdua. Andaikata dibuat dalam kumpulan cerita, mungkin sudah bisa masuk dalam kumcernya AngingMammiri edisi ke-3….^O^

Tulisan Yang Berkaitan



December 14, 2009 Posted in | | 9 Comments »

9Komentar:


..aRea waJib NgoMeL..


Silahkan ngomel yang baek2 di sini ^_*. Kalau pengen ngomelin teman yg lain, caranya ketik @ID yang diomelin, trus tulis omelan kamu di bawahnya.


Contoh:


@4827332802306653045.0
Wahhh....blognya siapa neh..?? jelek banget.. :-P