Siang yang indah. Seindah perasaan Sani sore itu. Semua tergambar jelas dari binar matanya yang bening bulat selaksa bola pingpon. Dikelurkanya hape dari saku celana jeansnya. Mengutak-atik inbox messagenya dan sesekali tersenyum sumringah. Belasan SMS dari seseorang misterius membuatnya hidup di tengah rasa penasaran beberapa hari terakhir ini.

“namaku Ilman, Muhammad Ilman”

Orang itu memperkenalkan dirinya melalui SMS pada suatu malam. Dia adalah teman Sani di dunia maya. Mereka sempat beberapa kali chating dan SMSan sebelum akhirnya dia mengajak Sani ketemuan hari ini. Sani tak juga menolak karena ini merupakan kali pertama dia akan ngopi darat dengan teman dunia mayanya setelah tiga bulan yang lalu dia memutuskan untuk bergabung di Facebook, jejaring sosial terbesar dan terpopuler di dunia saat ini.

Selain itu, di pikiran Sani, Ilman adalah sosok pria yang baik, garing ditemani bercanda, nyambung diajak diskusi, tidak neko-neko dan tidak pernah menunjukkan tabiat yang mencurigakan. Semuanya terpadu dan melebur menjadi satu dalam diri Ilman yang Sani kenal, yang membuatnya dengan mantap dan tanpa ragu menerima mengiyakan ajakan lelaki misterius itu.


“Oke. Kita ketemu besok siang di perpustakaan, jam satu sehabis dzuhur”

Tak begitu banyak informasi yang bisa Sani korek dari Ilman. Di Facebooknya hanya tertulis “Ilman CaLm” dengan tambahan informasi status “Single” dan juga merupakan salah satu anak Sastra Inggris Unhas, sama dengan Sani walaupun tanpa embel-embel angkatan tahun berapa. Selebihnya tidak ada, kecuali tokoh kartun Gaara yang menjadi profile picturenya. Sani tak pernah bercerita kepada siapapun perihal Ilman. Bahkan pada ketiga sahabatnya sekalipun, Anti, Ifa dan Sari.

“Ilman akan menjadi surprise bagi kalian” pikir Sani

Butiran-butiran air sisa siraman hujan barusan masih menetes satu demi satu dari ujung dedaunan pohon-pohon angsana di depan rektorat. Sani tergopoh-gopoh mempercepat langkahnya melukis jejak-jejak kaki di permukaan tanah merah basah dan becek. Sedangkan di atas sana, gumpalan-gumpalan awan menghalangi cahaya matahari yang membuat area kampus merah saat ini nampak gelap di hari yang masih siang.

Tujuan langkah saat ini hanya satu, perpustakaan pusat. Sebenarnya dia bisa saja berbelok di tanah lapang samping rektorat dan kemudian menaiki beberapa tangga untuk sampai ke lantai dua dimana perpustakaan berada. Namun hal itu tidak Sani lakukan. Dia memang jarang melewati area yang menjadi kekuasaan antek alias anak teknik. Tanah lapang yang telah menjadi saksi bisu atas segala kejadian-kejadian di kampus merah. Tanah lapang yang sering menjadi medan pertempuran antarfakultas. Dan juga tanah yang menjadi tempat bersatunya seluruh fakultas, mengangkat batu dan balok melawan keberingasan dan kebiadaban polisi beberapa bulan lalu. Semuanya terukir jelas dengan tinta darah mahasiswa yang menjadi korban kala itu.

Dia memilih berjalan lurus di depan rektorat dan berbelok masuk di areal parkiran. Areal parkiran nampak sepi. Hanya ada beberapa biji kendaraan roda dua yang terparkir di sisi kiri dan kanan jalur masuk.

Sani semakin mempercepat langkahnya dan sesekali berlari-lari kecil sambil mendongakkan kepalanya ke gumpalan awan menggantung di atas ubun-ubunnya. Membendung ribuan bahkan ratusan ribu liter kubik air hujan yang siap-siap ditumpahkannya.

Di ujung jalan, Sani menikung ke kiri menuju arah lorong remang-remang di bawah perpustakaan. Remang-remang karena hanya menggunakan penerangan seadanya. Cuma mengandalkan balon pijar lima watt yang setara dengan penerangan WC di pondokan mahasiswa. Sudah berkali-kali dipertanyakan kemana aliran-aliran dana kampus yang miliaran itu, hingga masih banyak sudut-sudut di kampus ini yang tak tersentuh penerangan ideal. Termasuk di bawah perpustakaan itu. Seolah-olah tempat itu sengaja disediakan untuk tempat berdua-duaan dan berbuat mesum.

Sani belum sempat melangkahkan kakinya masuk ke ruang itu sebelum akhirnya air tumpah menghunjam bumi. Menyirami segala benda yang dilaluinya, termasuk Sani yang bajunya basah kuyup karena tersiram olehnya walaupun cuma sesaat.

“ehem…”

Suara batuk serak dari pria tua yang entah dari mana datangnya menyita perhatian Sani yang sedang menyeka-nyeka pakainnya yang basah seraya menyunggingkan senyum ke arah orang itu.

“mau kemana nak ?”

“ooo…e…e…emm…! Ini pak, mau ke perpustakaan”

“sendirian ?”

Sani mengangguk pelan membenarkan dugaan pak tua tadi.

“hati-hati ya nak, apalagi saat hujan-hujan seperti ini”

Sani belum sempat menjawab ketika pak tua membalikkan badan dan entah berbelok di bagian mana, dia tiba-tiba menghilang, lenyap ditelan keremangan sudut-sudut lorong Takeshi Castle itu. Disebut lorong Takeshi Castle karena sudah banyak mahasiswa yang terjebak di lorong ini. Masuk di lorong yang satu, tapi akhirnya keluar di lorong yang itu juga.

Sani masih terpaku di tempat itu. Belum beranjak selangkah pun. Dia masih menerka-nerka dan mencoba menangkap arah pembicaraan pak tua tadi. Namun semua prasangka-prasangka yang mencul di benaknya dia tepis sendiri.

“impossible, tidak akan terjadi apa-apa” gumamnya untuk meyakinkan perasaannya

Masih tak lekang di ingatannya sebuah pengalaman konyol dan memalukan. Ketika belum cukup setahun di kampus ini, Sani dan ketiga orang sahabatnya rencananya akan mengikuti kuliah umum di kelas PIB, yang gedungnya tepat di depan perpustakaan. Maksud hati ingin cepat-cepat tiba di kelas supaya bias kebagian tempat duduk di bagian depan, mereka memutuskan mengambil shortcut di lorong itu. Tapi bukannya cepat sampai di kelas, mereka malah berputar-putar di lorong itu sampai akhirnya keluar di tempat mereka masuk sebelumnya.

Tapi itu kejadian dua tahun yang lalu, ada dia dan sahabat-sahabatnya. Sekarang, dia hanya seorang diri. Dan entah kekuatan dari mana yang membisikinya, dia mulai melangkahkan kakinya selangkah demi selangkah. Hatinya mantap. Sementara itu, hujan deras semakin bergemuruh di luar sana, dan sesekali guntur terdengar bergulung-gulung seperti dua mahluk raksasa yang bertarung di atas sana, membuat suasana tambah mencekam di dalam ruang pengap itu. Sani sesekali celingukan, menoleh ke kiri, dan ke kanan, berharap ada orang lain selain dirinya di tempat itu. Tapi nihil. Sepertinya dia memang adalah orang pertama yang nekat menorobos lorong gelap itu sendirian, di tengah gemuruh hujan pula.

Melihat keadaan seperti itu, jantungnya tiba-tiba terpompa semakin kencang. Nafasnya memburu tak beraturan dan keringat dingin mulai muncul satu persatu di keningnya, mengalir dan semakin deras mengucur di ujung dagunya. Suara-suara bising dari kipas AC berpadu dengan suhu udara yang lembab membuat Sani semakin kepanasan, terpanggang di antara sekat-sekat ruangan kosong di bawah perpustakaan.

Sekali lagi Sani mengarahkan pandangannya ke belakang ke lorong tempat dia masuk sebelumnya, namun tak ada siapapun di luar sana, bahkan cahaya pun tak ada. Hanya ada gemuruh hujan. Sani benar-benar merasa telah terperangkap akibat kegilaannya sendiri. Nyalinya semakin menciut. Adrenalinnya juga menurun sedikit demi sedikit.

“halooo…!!! Ada orang di luar sana nggak ?”

Dia mencoba berteriak, berharap ada orang yang bisa mendengarnya. Tapi sekali lagi, suaranya di telan habis oleh gemuruh hujan, menguap di antara putaran baling-baling kipas angin yang semakin kencang.

“tidak…tidak…aku harus keluar dari tempat ini” gumamnya pelan sambil menyeka keningnya yang semakin basah oleh keringat. Baru saja akan melangkahkan kakinya untuk berlari, ketika…kleekkk…!!

Gelap…..

Lampu di dalam ruangan itu tiba-tiba padam. Sani mengurungkan niatnya untuk lari. Otot-otot kakinya melemas dan tak sanggup berdiri lama-lama. Dengan tangan masih gemetar, dia mengendap-ngendap, meraba dan mencari tembok untuk bersandar sambil menunggu lampu menyala kembali.

Tak berselang lama, baling-baling kipas AC di ruangan itu tiba-tiba berputar kencang dan bising. Aneh, karena dia berputar dengan sendirinya, sementara lampu-lampu di ruangan itu tetap padam. Dan semakin aneh karena suara itu lebih mirip dengan suara tangisan seorang ibu yang kehilangan anaknya. Pori-pori Sani melebar. Bulu kuduknya berdiri satu demi satu merasakan keanehan-keanehan itu.

“Ya Allah, tolonglah hamba-Mu. Jangan biarkan aku mati tersesat di tempat ini. Tunjukkanlah aku jalan keluar”

Bibir Sani bergetar bermunajat kepada Sang Pencipta. Tangannya menengadah dan basah oleh cucuran air mata bercampur keringat dingin. Sani tak kuasa membendung air matanya. Di tengah kesendirian itu, tiba-tiba dia teringat dengan orang tua, adik-adik, serta ketiga sahabatnya. Dia menyesal karena keinginan memberikan surprise kepada mereka, ternyata harus berakhir seperti ini.

Di tengah ketakutan yang teramat sangat, da baru ingat dengan hape yang dikantonginya dari tadi.

“dasar Sani bodoh…bodoh…bodoh…!! Hehe…”

Dia nyengir sendiri sambil memukul-mukul jidatanya. Tapi senyumnya kembali pudar ketika melihat hapenya tak mendapat sinyal sama sekali. Hanya ada sedikit cahaya kuning dari layar hapenya yang untuk menerangi kakinya saja tak sampai apalagi menerangi ruang di sekelilingnya.

Raungan kipas AC itu semakin nyaring. Oh..bukan, bukan lagi kipas AC, tapi itu suara tangisan seorang ibu, sambil menyanyikan lagu nina bobo. Kedengaran samar-samar tapi Sani masih bisa mengenal nadanya. Dari sudut ruang yang lain kedengaran gemercik air dan suara benda-benda kaca yang jatuh. Sedangkan hidungnya menangkap bau-bau mistis yang sangat menyengat. Campuran aroma kemenyam, bau pandan dan bunga kamboja. Sani tak ingat lagi kalau ia sebenarnya masih berada pada sebuah ruang di bawah perpustakaan. Tempat dimana dia dan ketiga sahabatnya tersesat dulu. Bagi Sani, tempatnya sekarang tak ada bedanya dengan taman pekuburan, yang di sekelilingnya hanyalah bebatuan-bebatuan nisan yang bisu.

Hapenya tiba-tiba terlepas dan terpental ketika setetes cairan kental dan hangat jatuh di atas punggung tangannya. Dia membaui cairan itu. Dia sangat kenal dengan baunya, tapi dia berusaha meyakinkan dugaannya dan mencoba menerawangnya di bawah cahaya redup hapenya. Dan dugaannya benar. Darah……..

“aaaaaaaaaa..……….!!!”

Segenap kekuatan dari pita suaranya dia salurkan untuk berteriak dan minta pertolongan. Walaupun akhirnya dengan tangannya, dia membungkam sendiri mulutnya. Betul-betul tak ada siapa pun yang bisa mendengarnya saat itu.

Angin dingin menusuk berhembus dari celah-celah ruangan. Sayup-sayup terdengar denting biola yang entah dari mana datangnya. Semakin lama semakin nyaring bunyinya. Sebuah alunan musik menyayat kalbu diperdengarkan. Mirip dengan musik pengiring kematian di film-film horror. Senada dengan itu, di depan tempat Sani terduduk, tiba-tiba terdengar lengkingan seram.

“hi…hi…hi…hi…”

Belum hilang rasa kagetnya, tiba-tiba dari arah suara tadi melesat keluar sosok mahluk dari dalam ruangan itu. Sosok mahluk yang lebih menyeramkan daripada tokoh-tokoh hantu dalam film horror manapun yang pernah Sani saksikan. Wajahnya putih pasih. Matanya juga serba putih, tak ada bagian hitam sama sekali. Sementara bola mata kirinya keluar dan nyaris terlepas. Sedangkan dari mata kanannya terlihat air mata mengalir becampur nanah. Mahluk itu mengambang tak menginjak tanah, dari ujung kakinya Nampak darah bercucuran deras menghasilkan bunyik rintik-rintik kecil di atas permukaan ubin yang lembab. Rambutnya hitam pekat dan menjulur melebihi tinggi tubuhnya. Sementara kedua tangannya Nampak menggendong anak bayi. Sani ingin berteriak sekencang-kencangnya ketika mahluk itu semakin mendekat ke arahnya. Tapi suaranya terkunci di tenggorokan. Sementara tangan dan kakinya tak bisa ia gerakkan sama sekali. Sari tak tahu lagi kejadian setelahnya, karena tiba-tiba saja tubuhnya semakin lemas dan terasa ringan. Sani pingsan.

Antara pingsan dan sadar, Sani merasakan sentuhan tangan hangat membelai pipinya.

“nak…bangunlah. Jangan tidur di tempat itu”

Sani membuka matanya perlahan-lahan. Walaupun masih samar-samar, tapi matanya berhasil menangkap sosok itu di depannya. Dia adalah pria tua yang dia temui di depan lorong. Dia tersenyum ke arah Sani sebelum akhirnya menghilang, menjelma menjadi gumpalan-gumpalan kabut. Dia mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terjadi sebelumnya. Matanya haru merona dan dari bibirnya tergurat senyum ketika di depannya terlihat sorot cahaya yang sangat terang.

“mungkin itu pintu keluarnya” gumamnya dalam hati dan bangkit dengan semangat.
Dia melangkah ke arah cahaya itu, namun berhenti setelah beberapa puluh langkah. Terasa ada yang janggal. Arah cahaya sebenarnya tidak lebih dari sepuluh meter dari tempat Sani berdiri. Tapi entah mengapa, setiap kali kaki Sani melangkah, maka seketika itu pula cahaya tersebut menjauh. Sani mencoba beberapa kali sampai akhirnya dia menyerah kecapaian.

Baru saja kaki Sani akan melangkah, tapi dia urungkan. Matanya menangkap sosok pria yang berjalan dari arah cahaya tadi. Sani memicingkan matanya untuk memastikan bahwa ia tak salah lihat. Dan ternyata benar. Pria itu melangkah semakin mendekat ke arahnya. Sani terperangah, mulutnya menganga. Bengong. Tak tahu harus ngomong apa.

“Hey…! Haloww…!!

Pria itu mendekat dan melambai-lambaikan tangannya di depan mata Sani yang gelagapan. Sani terpanah. Belum pernah dia disapa oleh pria setampan itu dalam hidupnya. Tubuhnya tinggi, kulitnya putih bersih, bodinya terbentuk dengan ideal. Bibirnya merah menawan. Hidungnya lancip dan alisnya terbentuk seperti sayap elang. Suaranya lembut dan sopan. Umurnya mungkin tak jauh beda dengan Sani Cuma beda dua atau tiga tahun. Perfect.

“Sani ya…?”

Sani yang merasa tak pernah kenal dengan pria itu itu kaget dan matanya membelalak seketika. Tapi dia mencoba menenangkan diri.

“si….si…siapa ya ?”

Pria itu tersenyum melihat Sani yang gagap walaupun telah berusaha menenangkan diri.

“masa lupa sih…kita kan janji akan ketemu hari ini”

“I…Ilmaaann…??” Sani setengah berteriak dan tidak percaya.

Pria yang dipanggil Ilman itu tak menjawab selain anggukan kecil membenarkan bahwa dia memang Ilman. Mata Sani berbinar-binar. Dari sudut matanya terlihat jelas rona bahagia. Tembok pertahanannya tak sanggup lagu membendung butiran-butiran air mata yang menggumpal. Sani kalah. Dia menangis di hadapan pria yang baru ia temui. Dan respek, tubuhnya tak mampu ia kendalikan ketika ia jatuh tersandar ke bahu pria ajaib itu.

“maaf ya aku telat. Sani sudah lama ya nunggunya ?” bisik Ilman

“ooohh….nggak kok. Nggak sama sekali. Aku baru aja datang…” jawab Sani berpura-pura

“oh iya…mau kemana bagusnya ? jalan yukk…!!”

“up to you dech. Ke surga juga boleh…hehehe…”

Tanpa menunggu lama, Ilman pun menggamit tangan Sani. Menariknya dengan penuh kelembutan.

“tangan yang dingin” gumam Sani dalam hati

Bersama Ilman, Sani melakukan petualangan yang sangat spektakuler yang tak pernah ia bayangkan. Mereka melewati hamparan savana yang indah, tertata dengan apik laksana hamparan beludru berwarna hijau. Mereka berbaring di atas hamparan itu dengan genggaman tangan yang nyaris tak ingin dipisahkan. Menatap ke kebiruan langit indah dengan hiasan awan putih seperti kapas yang terbang bergulung-gulung dihembus angin.

“Sani, kamu pernah nggak ngerasain hidup tanpa cinta ?” Ilman mengawali pembicaraan, mencoba mencairkan kebekuan di antara mereka.

“mmm…kayanya nggak pernah deh. Kenapa emang ?”

Ilman bangkit dari hamparan itu, disusul Sani. Mereka meluruskan pandangan ke ujung hamparan di bawah cakrawala.

“coba lihat pohon rimbun di kejauhan sana. Hidup tanpa cinta, laksana pohon itu, tak berbunga dan tak berbuah. Tetapi cinta tanpa kebahagiaan ibarat kembang kertas. Indah tapi tak beraroma. Hidup, cinta dan kebahagiaan ialah tiga dalam satu, yang tak bisa dipisahkan ataupun diubah”

Sani hanya manggut-manggut kecil sambil sesekali memainkan bunga tulip yang ada di kiri kanannya. Kebersamaan keduanya serasa begitu cepat, mereka lalu beranjak meninggalkan hamparan itu. Melewati jambatan-jembatan yang dibawahnya mengalir sungai-sungai kecil dihiasi ikan berwarna-warni. Benar-benar sebuah mahakarya sang pencipta, yang Sani sendiri tak mampu mendeskripsikannya dengan seluruh kosakata yang dia tahu selama ini. Hanya ada satu kata, Wonderful. Namun semua kebersamaan itu ternyata tak berlangsung lama. Ilman berdiri di hadapan Sani, menatap matanya dalam-dalam dengan kedua tangan yang menempel erat di bahu Sani. Dia hanyut dalam tatapan mematikan Ilman.

“Sani, thanks banget dah mau luangin waktumu buat nemuin aku. Maafin aku, tak bisa beri lebih selain ucapan terima kasih. Dan dengan begitu, ku harapa aku bisa pergi dengan tenang”

Sani masih menunduk. Belum mampu membalas tatapan Ilman. Matanya terlihat sembab, dan tanpa ia sadari tetesan-tetesan air bening jatuh dari sudut matanya. Bersamaan dengan itu, Ilman dengan sigap menadahkan kedua tangannya, meraup butiran-butiran air mata Sani, lalu menggenggamnya dengan erat.

“biarkanlah aku menyimpan air mata ini, agar aku kan senantiasa mengenangmu”

Sani mulai memberanikan diri menatap mata Ilman, ketika tiba-tiba bibir hangat Ilman telah mendarat lembut di kening Sani.

“Selama tinggal Sani”

Belum sempat Sani membalas lambaian tangannya, Ilman menghilang dan keadaan di sekelilingnya pun tiba-tiba berubah total. Sani tak tahu ke arah mana Ilman pergi. Dia baru saja kembali dari petualangan fatamorgana surgawi

***

Pelataran Rektorat, 18.05 Wita

“dek…adek…!!!”

Dua orang satpam menggoyang-goyangkan kepala gadis itu. Berusaha supaya gadis itu bisa segera siuman.

Lima belas menit yang lalu, dua orang satpam yang sedang berkeliling kampus menemukan sosok tergeletak tak berdaya di taman bunga belakang rektorat. Tubuhnya basah kuyup dan kotor berlumuran lumpur. Ada juga bekas darah di tangannya, tapi tak ditemukan luka sama sekali. Tak berselang lama, gadis itu siuman, dan bingun melihat suasana-suasana aneh di sekelilingnya.

“a..a..apa yang terjadi pak ? kenapa aku bisa ada di tempat ini ?”

“nanti aja diceritakan. Nih, adhe minum dulu biar agak baikan”

Setelah itu,Sani mulai menceritakan semuanya. Pertemuannya dengan kakek tua sebelum dia masuk ke lorong di bawah perpustakaan itu, hal-hal aneh dan petualangan ajaibnya bersama seorang pria.

“dek, lain kali kalau mau masuk ke lorong itu, jangan lupa baca ayat kursi atau paling tidak baca basmalah. Jangan coba-coba melamun dan jalan sendirian, apalagi kalau hujan seperti tadi siang. Lorong itu ada penunggunya”

Pak satpam melanjutkan ceritanya,

“konon, berdasarkan cerita yang beredar, tanah dimana perpustakaan dan bangunan-bangunan lain di sekitar situ, dulunya merupakan kompleks pekuburan. Sayangnya, ketika semua gedung itu dibangun, kuburannya tidak dipindahkan melainkan diratakan dengan tanah. Dan jadilah bangunan-bangunan tersebut di atas tanah kuburan. Makanya sampai sekarang para penghuni-penghuni kuburan itu masih sering menampakkan diri pada waktu-waktu tertentu, seperti saat-saat hujan keras. Untungnya adek tidak kenapa-napa dan masih bisa ditemukan….”

“…dua tahun yang lalu, seorang pria juga diperkirakan terjebak di dalam ruangan itu. Temannya mengatakan, dia berlari ke dalam lorong-lorong untuk berteduh karena hujan deras dan Guntur. Dan sampai sekarang mayatnya belum ditemukan. Kampus menjadi geger mendengar kabar kehilangan pria malang itu. Dia adalah bintang di kampus. Seorang pemain basket yang telah mengharumkan nama Unhas. Kalau tidak salah, namanya Ilman, yah…MUHAMMAD ILMAN…”

Mendengar nama itu, Sani tersentak kaget. Matanya berkaca-kaca menahan haru. Dia mengingat kembali peristiwa yang terjadi beberapa jam lalu. Tak bisa ia bayangkan bagaimana jadinya andai saja Ilman tak ada kala itu. Mungkin dia akan senasib dengan Ilman. Gentayangan karena mayatnya tak kunjung ditemukan. Sani yakin kalau kedatangan Ilman adalah untuk menyelamatkannya.

Air matanya tumpah mengenang petualangan mistik yang hampir saja merenggut nyawanya. Memisahkan dirinya dengan orang-orang yang dia cintai. Orang tuanya, adik-adiknya dan juga ketiga orang sahabatnya.

Unforgettable day. Malam itu Sani diantar oleh kedua satpam tadi kembali ke pondokannya. Semua teman-temannya heran dan kaget. Mereka takut sahabatnya menjadi korban perkosaan. Walapun semuanya berkahir di dalam dekapan tangis teman-temannya.

“kalian masih akan tetap menjadi sahabatku khan ?”

Anti, Ifa dan Sari mengangguk dan bersamaan dengan itu, tiga bantal pun mendarat di wajah Sani.

“ya iyalaahhh……!!!” teriak mereka serentak

***
Keesokan harinya, Sani buru-buru ke warnet. Ingin membuka kembali Facebooknya. Tetapi setelah Online, keanehan pun terjadi. Nama “Ilman CaLm” sudah tak ada dalam friends listnya. Komentar-komentarnya juga juga sudah tak Nampak di beberapa status dan wall milik Sani.Semua hilang begitu saja. Dia mencoba sekali lagi dengan mengetikkan nama “Ilman CaLm” di kolom pencarian. Banyak nama Ilman yang muncul, tapi tak ada yang “CaLm". Yang ada Cuma Ilman Gaul, Ilman Ajah, Ilman Mou Dech, Ilman NaZis, ManIeZ, NaJieS, bUNciEs dan Ilman-Ilman lain yang tidak jelas juntrungannya. Dan bukan mereka yang Sani cari. Di hapenya pun sama, nama kontak dan SMSnya juga hilang tak tersisa.

Sani berkeringat dingin. Bau-bau mistik tiba-tiba menyeruak di warnet itu. Aroma kemenyam berpadu dengan wangi pandan dan bunga kamboja, persis aroma di lorong maut kemarin. Sani mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Bibirnya bergetar ketakutan, pori-porinya melebar dan matanya sontak membelalak ketika melihat sosok pria di meja depannya, ILMAN. Tapi semuanya berlalu begitu cepat. Sani kembali lunglai, pandangannya gelap dan tubuhnya terasa ringan. Sani pingsan pagi itu. Dan warnet pun geger…

E---N---D

Tulisan Yang Berkaitan



November 23, 2009 Posted in | | 0 Comments »

0Komentar:


..aRea waJib NgoMeL..


Silahkan ngomel yang baek2 di sini ^_*. Kalau pengen ngomelin teman yg lain, caranya ketik @ID yang diomelin, trus tulis omelan kamu di bawahnya.


Contoh:


@4827332802306653045.0
Wahhh....blognya siapa neh..?? jelek banget.. :-P