Di tengah kidung angin pada sepertiga malam, tak pernah lekang dari ingatanku, tatkala di atas sepasang bangku itu, dia mulai menyulam helaian-helaian kisah untukku perihal ayah yang semasa hidupnya begitu bertanggung jawab dan pemberani. Dan juga dia yang gemar mendongeng tentang Maling Kundang yang dikutuk oleh ibunya karena kedurhakaanya ataupun tentang si kancil yang cerdik. Semuanya masih segar di ingatanku, sekalipun dia telah ceritakan itu 15 tahun yang silam. Ketika ku masih acapkali berpura-pura sakit tak ingin ikut belajar. Ketika ku masih sering bertelanjang kaki menenteng sandal jepit di atas tanah-tanah becek bekas hujan yang semuanya ku lakukan karena ingin datang ke suatu tempat yang akhirnya ku ketahui bernama sekolah.
Dan malam itu, kami kembali bercengkerama di atas sepasang bangku, di depan sebuah meja kayu yang rapuh termakan rayap. Seperti biasa, dia tak lupa menyuguhkan teh hangat dan beberapa potong singkong untuk kami nikmati bersama, bernostalgia di depan perapian-perapian kecil dengan kepulan asap hitam membumbung, meliuk-liuk dan lenyap membaur dengan hitamnya malam.
Ternyata bangku-bangku itu masih sama seperti dulu. Barang satu-satunya peninggalan ayah yang telah begitu banyak mendengar cerita anak manusia di dalam gubuk-gubuk reyot bersekat anyaman daun nyiur, yang tingginya tak cukup semeter dari permukaan tanah.
Di kala ia mulai bercerita, aku selalu menggenggam tangannya yang kasar, menyusuri tiap ruas permukaan kulitnya yang semakin kusam dan tipis termakan usia. Inilah ritual-ritual sederhana yang sering kami lakukan di penghujung malam. Di bawah desir angin yang membelai dedaunan kenari di atas gubuk kami. Sementara binatang-binatang di luar sana, pun turut diam terlarut dalam ritual itu.
Itulah malam terakhir kami bercerita berdua di atas sepasang bangku itu, karena esoknya, di kala fajar menyingsing di batas cakrawala, mencipta embun menggenang di helai-helai daun talas, di kala cahaya mentari menyembul menembus celah-celah dinding gubuk kami, saat itu pula aku akan kembali berpisah dengannya, mengejar mimpi-mimpiku yang telah terlanjur aku gantungkan jauh di bawah gumpalan polusi, di tengah hingar bingar klakson kendaraan.
Malam itu, di usiaku yang telah tumbuh semakin dewasa, dia tak lagi bercerita padaku akan kecerdikan kancil ataupun Maling Kundang yang durhaka. Dia hanya diam dan mendengarkan aku berkisah, tentang orang-orang yang telah mengubah dunia hingga menjadi seperti sekarang ini. Tentang anak-anak bangsa ini yang hanya bermodalkan pena, tapi mampu mencipta karya yang sangat menggugah.
“Suatu saat aku ingin menjadi seperti mereka, bunda”
Dia terseyum sampai giginya yang telah banyak mengoropos terlihat jelas. Dia menatapku tajam, menyusuri tiap relung sukmaku.
“berusahalah anakku, berdoa dan kemudian serahkan semuanya kepada Allah”
Jawabnya singkat, tapi cukup membuatku bergetar dan merenung sangat lama. Dia membelai rambutku dengan segenap kelembutan. Kelembutan yang masih sama seperti yang aku rasakan 15 tahun silam, ketika ku masih sering menangis dan dengan penuh kasih sayang dia membelaiku sampai aku terdiam di dalam dekapannya.
Bagiku, dia adalah malaikat tak bersayap yang Tuhan utus untuk menjagaku. Yang tak pernah sedikitpun kudengar bibirnya mengeluh, ataupun melihat air mata yang mengalir di pipinya. Yang ada hanyalah ketegaran dan ketabahan khas seorang wanita yang biasa aku panggil ibu. Kata pertama yang bisa aku lafalkan dalam hidupku.
Pernah suatu ketika, sewaktu aku masih kecil yang hanya tahu bermain dengan gemerisik-gemerisik air di pinggiran hilir, atau berlari-lari merentangkan tangan, berpacu dengan angin mengejar sepasang layangan yang akhirnya kutemui tersangkut di puncak pohon kapuk, kudapati ibu sedang meneteskan air mata di depan tungku dapur sambil menyalakan tumpukan kulit dan batuk kelapa dengan menggunakan potongan bambu kecil. Walaupun dia lagi-lagi tersenyum dan berusaha meyakinkan aku bahwa ia tak menangis, tapi hatiku mengatakan bahwa ibu benar-benar menangis kala itu. Apalagi dari sorot cahaya perapian, kulihat lebam di pipinya dan sedikit bengkak.
“sudahlah nak, ibu tidak apa-apa. Lebih baik kamu ambil air wudhu, gelar sajadah dan shalatlah. Jangan lupa bermunajat kepada Allah agar diberi rezeky yang banyak” begitulah ibu selalu mengingatkanku.
Sampai esoknya aku dengar dari orang lain bahwa ibuku dipukuli oleh orang-orang suruhan Haji Maman, seorang rentenir. Katanya ibu sudah menunggak utang selama 6 bulan. Aku tersentak mendengar, hatiku benar-benar teriris. Aku menemui ibu di belakang rumah, ku memeluknya dan menitikan air mata di depannya, sekalipun akhirnya dia tak pernah tahu bahwa aku menangis untuknya kala itu.
Ahh…ibu masih tetap menjadi wanita terkuat yang pernah aku kenal. Yang dulu mengandungku selama 9 bulan lebih. Dan ketika ku terlahir, dia pula yang menjaga, dan merawatku sampai ku tumbuh besar dan tinggi melebihi tingginya sendiri. Aku yakin, dunia dan seluruh isinya tak akan pernah mampu membalas kasih sayangnya. Kasih sayang dan cinta yang sabda alam sekalipun tak akan pernah mampu mengubah arahnya. Sampai ku tak punya alasan untuk mempertanyakan mengapa Rasulullah menyuruh kita untuk menghormati ibu.,..ibu…ibu, dan kemudian ayah…
“jadi kapan lagi kamu akan menemui ibu nak ?”
“Insya Allah enam bulan lagi Bu aku akan menyelesaikan kuliahku dan kembali kesini menemani ibu selamanya”
“ternyata masih lama nak. Ibu takut suatu saat akan sakit karena sangat merindukanmu”
Aku terdiam melihat matanya yang menatap kosong. Andai saja ibu tahu bahwa aku ingin sekali dia pergi bersamaku, agar dia pun bisa menjadi saksi bahwa surya yang melukis panorama senja dengan semburat jingga di pantai Losari itu adalah surya yang sama yang kami sambut dengan doa setiap pagi yang cahayanya menyembul di balik dedaunan kenari beraroma subuh. Tapi ku tahu bahwa ibu akan lebih sehat jika tetap berada di sini, maka biarlah aku yang akan kembali menemui ibu di purnama keenam sesuai janjiku.
**
Malam ini, di naungan purnama yang senantiasa berkilau indah sekalipun berada di balik gumpalan awan, aku kembali untuk memenuhi janji-janjiku padanya. Janji-janji yang telah aku sematkan di celah-celah sekat anyaman daun nyiur gubuk kami, dan pula ku gantungkan di helai-helai daun pohon kenari, enam bulan silam.
Tak bisa aku bayangkan bagaimana ekspresi kegembiraan ibu andai melihat aku yang telah lama dirindukannya melebihi kerinduanku padanya, telah berdiri mematung di belakangnya, dengan menenteng ransel bututku dan berbisik dari balik punggungnya, “ibu…aku telah kembali. Dan akan bersamamu di sini selamanya”. Dan dengan mata berbinar cerah, dia berbalik, memelukku seperti biasa dan berkata, “Ibu sangat merindukan kedatanganmu nak”
Tapi malam itu, aku tak melihat sosok ibu di dapur. Juga tak di kebun samping rumah. Tak ada. Bahkan lampu minyak yang dulu senantiasa menerangi rumah ini pun tak kelihatan cahayanya. Langkah kakiku terhenti, tatkala mataku tertuju pada ruang yang hanya bersekat kain bekas yang lusuh yang kami sebut kamar. Dan samar-samar, aku melihat sosok yang terbaring di sana. Sosok tak asing lagi yang sangat aku rindukannya kelembutannya. Ibu…
Mungkin ibu kelelahan setelah bekerja keras seharian. Sehingga dia pun tak menyadari bahwa Allah baru saja mengundangnya datang ke rumahnya, di penghujung adzan. Hatiku tak ingin mengusiknya. Tapi biarlah. Ibu pasti tidak akan merasa terganggu sama sekali kalau dia tahu bahwa anaknyalah yang datang mengusik tidurnya.
Beberapa kali aku menggoyang-goyangkan tubuhnya. Memanggilnya dari dekat telinganya. Berharap dia bisa mendengarku. Namun ibu tak meresponku sama sekali. Bergerak pun tidak. Ku tatap wajahnya dalam-dalam. Wajah yang tetap bersahaja sama seperti dulu. Tapi mengapa tangannya menjadi dingin ? apakah ibu sakit ? Aku memanggilnya sekali lagi, tapi tetap tak ada jawaban. Hanya kesunyian yang merasukiku. Sampai akhirnya aku pun tahu dan sadar.
Sosok yang terbaring di hadapanku ini adalah sosok ibu yang sangat aku rindukan. Ibu yang sangat tabah dan tegar. Ibu yang tak pernah aku dengar suara kerasnya. Dan juga ibu yang sekarang masih menyunggingkan sedikit senyum di bibirnya walaupun ku dapati sudah tak bernyawa. Ibu telah pergi malam itu. Meninggal.
Aku menangis. Ketegaran sebesar apapun malam itu tak mampu melarang air mataku untuk tumpah di depan jasad tak bernyawa yang sangat aku rindukan. Aku menyesal tak bisa melarang Izroil untuk menunda kepergian ibuku karena aku telah berjanji akan datang padanya di purnama ke enam malam ini. Dan pula, aku belum sempat mencium tangannya dan mengucapkan terima kasih padanya atas segala doa dan kasih sayangnya yang tak ternilai dengan apapun.
Ibu,..apakah enam purnama bagimu terlalu panjang untuk menunggu. Bukankah sebelum kakiku menuruni tangga terakhir surga kecil kita ini, aku telah bersumpah bahwa aku pasti akan kembali untuk menemui ibu. Dan pun itu aku lakukan, sebelum bayangku menghilang di ujung desa, bahwa aku pasti kembali. Dan kini, aku telah kembali, untuk memenuhi janjiku.
Bukankah ibu ingin sekali melihat lembaran kertas yang bernama ijazah ? Bukankah ibu ingin sekali meletakkan fotoku dengan toga kebesaran di setiap sisi dinding rumah kita agar semua orang tau, bahwa itu adalah foto putra kesayangan ibu ? dan juga bukankah ibu ingin melihat foto seorang wanita yang suatu hari ku harap ibu bisa memanggil cucu kepada putra putrinya ? Semuanya telah aku penuhi. Tak inginkah ibu melihatnya sekali saja..?
**
Di bawah tangisan langit, ku terpekur sendiri di depan gundukan tanah merah bertabur seroja. Ibu…maafkan aku. Untuk kali ini aku tak bisa memenuhi permintaan ibu untuk tidak menangisi jasad yang meninggal. Karena ibu pernah berkata, bahwa meninggalnya seseorang juga karena kecintaan Allah kepadanya. Semoga di alam sana, Allah memberi ibu sepasang sayap, sehingga ibu pun bisa datang menemuiku di kala ibu merindukanku. Biarlah kita bercakap-cakap sesaat di atas sepasang bangku itu, dengan ditemani singkong rebus dan teh hangat buatanku seperti yang biasa kita lakukan. Selamat jalan malaikatku yang tak bersayap…… END...
Dan malam itu, kami kembali bercengkerama di atas sepasang bangku, di depan sebuah meja kayu yang rapuh termakan rayap. Seperti biasa, dia tak lupa menyuguhkan teh hangat dan beberapa potong singkong untuk kami nikmati bersama, bernostalgia di depan perapian-perapian kecil dengan kepulan asap hitam membumbung, meliuk-liuk dan lenyap membaur dengan hitamnya malam.
Ternyata bangku-bangku itu masih sama seperti dulu. Barang satu-satunya peninggalan ayah yang telah begitu banyak mendengar cerita anak manusia di dalam gubuk-gubuk reyot bersekat anyaman daun nyiur, yang tingginya tak cukup semeter dari permukaan tanah.
Di kala ia mulai bercerita, aku selalu menggenggam tangannya yang kasar, menyusuri tiap ruas permukaan kulitnya yang semakin kusam dan tipis termakan usia. Inilah ritual-ritual sederhana yang sering kami lakukan di penghujung malam. Di bawah desir angin yang membelai dedaunan kenari di atas gubuk kami. Sementara binatang-binatang di luar sana, pun turut diam terlarut dalam ritual itu.
Itulah malam terakhir kami bercerita berdua di atas sepasang bangku itu, karena esoknya, di kala fajar menyingsing di batas cakrawala, mencipta embun menggenang di helai-helai daun talas, di kala cahaya mentari menyembul menembus celah-celah dinding gubuk kami, saat itu pula aku akan kembali berpisah dengannya, mengejar mimpi-mimpiku yang telah terlanjur aku gantungkan jauh di bawah gumpalan polusi, di tengah hingar bingar klakson kendaraan.
Malam itu, di usiaku yang telah tumbuh semakin dewasa, dia tak lagi bercerita padaku akan kecerdikan kancil ataupun Maling Kundang yang durhaka. Dia hanya diam dan mendengarkan aku berkisah, tentang orang-orang yang telah mengubah dunia hingga menjadi seperti sekarang ini. Tentang anak-anak bangsa ini yang hanya bermodalkan pena, tapi mampu mencipta karya yang sangat menggugah.
“Suatu saat aku ingin menjadi seperti mereka, bunda”
Dia terseyum sampai giginya yang telah banyak mengoropos terlihat jelas. Dia menatapku tajam, menyusuri tiap relung sukmaku.
“berusahalah anakku, berdoa dan kemudian serahkan semuanya kepada Allah”
Jawabnya singkat, tapi cukup membuatku bergetar dan merenung sangat lama. Dia membelai rambutku dengan segenap kelembutan. Kelembutan yang masih sama seperti yang aku rasakan 15 tahun silam, ketika ku masih sering menangis dan dengan penuh kasih sayang dia membelaiku sampai aku terdiam di dalam dekapannya.
Bagiku, dia adalah malaikat tak bersayap yang Tuhan utus untuk menjagaku. Yang tak pernah sedikitpun kudengar bibirnya mengeluh, ataupun melihat air mata yang mengalir di pipinya. Yang ada hanyalah ketegaran dan ketabahan khas seorang wanita yang biasa aku panggil ibu. Kata pertama yang bisa aku lafalkan dalam hidupku.
Pernah suatu ketika, sewaktu aku masih kecil yang hanya tahu bermain dengan gemerisik-gemerisik air di pinggiran hilir, atau berlari-lari merentangkan tangan, berpacu dengan angin mengejar sepasang layangan yang akhirnya kutemui tersangkut di puncak pohon kapuk, kudapati ibu sedang meneteskan air mata di depan tungku dapur sambil menyalakan tumpukan kulit dan batuk kelapa dengan menggunakan potongan bambu kecil. Walaupun dia lagi-lagi tersenyum dan berusaha meyakinkan aku bahwa ia tak menangis, tapi hatiku mengatakan bahwa ibu benar-benar menangis kala itu. Apalagi dari sorot cahaya perapian, kulihat lebam di pipinya dan sedikit bengkak.
“sudahlah nak, ibu tidak apa-apa. Lebih baik kamu ambil air wudhu, gelar sajadah dan shalatlah. Jangan lupa bermunajat kepada Allah agar diberi rezeky yang banyak” begitulah ibu selalu mengingatkanku.
Sampai esoknya aku dengar dari orang lain bahwa ibuku dipukuli oleh orang-orang suruhan Haji Maman, seorang rentenir. Katanya ibu sudah menunggak utang selama 6 bulan. Aku tersentak mendengar, hatiku benar-benar teriris. Aku menemui ibu di belakang rumah, ku memeluknya dan menitikan air mata di depannya, sekalipun akhirnya dia tak pernah tahu bahwa aku menangis untuknya kala itu.
Ahh…ibu masih tetap menjadi wanita terkuat yang pernah aku kenal. Yang dulu mengandungku selama 9 bulan lebih. Dan ketika ku terlahir, dia pula yang menjaga, dan merawatku sampai ku tumbuh besar dan tinggi melebihi tingginya sendiri. Aku yakin, dunia dan seluruh isinya tak akan pernah mampu membalas kasih sayangnya. Kasih sayang dan cinta yang sabda alam sekalipun tak akan pernah mampu mengubah arahnya. Sampai ku tak punya alasan untuk mempertanyakan mengapa Rasulullah menyuruh kita untuk menghormati ibu.,..ibu…ibu, dan kemudian ayah…
“jadi kapan lagi kamu akan menemui ibu nak ?”
“Insya Allah enam bulan lagi Bu aku akan menyelesaikan kuliahku dan kembali kesini menemani ibu selamanya”
“ternyata masih lama nak. Ibu takut suatu saat akan sakit karena sangat merindukanmu”
Aku terdiam melihat matanya yang menatap kosong. Andai saja ibu tahu bahwa aku ingin sekali dia pergi bersamaku, agar dia pun bisa menjadi saksi bahwa surya yang melukis panorama senja dengan semburat jingga di pantai Losari itu adalah surya yang sama yang kami sambut dengan doa setiap pagi yang cahayanya menyembul di balik dedaunan kenari beraroma subuh. Tapi ku tahu bahwa ibu akan lebih sehat jika tetap berada di sini, maka biarlah aku yang akan kembali menemui ibu di purnama keenam sesuai janjiku.
**
Malam ini, di naungan purnama yang senantiasa berkilau indah sekalipun berada di balik gumpalan awan, aku kembali untuk memenuhi janji-janjiku padanya. Janji-janji yang telah aku sematkan di celah-celah sekat anyaman daun nyiur gubuk kami, dan pula ku gantungkan di helai-helai daun pohon kenari, enam bulan silam.
Tak bisa aku bayangkan bagaimana ekspresi kegembiraan ibu andai melihat aku yang telah lama dirindukannya melebihi kerinduanku padanya, telah berdiri mematung di belakangnya, dengan menenteng ransel bututku dan berbisik dari balik punggungnya, “ibu…aku telah kembali. Dan akan bersamamu di sini selamanya”. Dan dengan mata berbinar cerah, dia berbalik, memelukku seperti biasa dan berkata, “Ibu sangat merindukan kedatanganmu nak”
Tapi malam itu, aku tak melihat sosok ibu di dapur. Juga tak di kebun samping rumah. Tak ada. Bahkan lampu minyak yang dulu senantiasa menerangi rumah ini pun tak kelihatan cahayanya. Langkah kakiku terhenti, tatkala mataku tertuju pada ruang yang hanya bersekat kain bekas yang lusuh yang kami sebut kamar. Dan samar-samar, aku melihat sosok yang terbaring di sana. Sosok tak asing lagi yang sangat aku rindukannya kelembutannya. Ibu…
Mungkin ibu kelelahan setelah bekerja keras seharian. Sehingga dia pun tak menyadari bahwa Allah baru saja mengundangnya datang ke rumahnya, di penghujung adzan. Hatiku tak ingin mengusiknya. Tapi biarlah. Ibu pasti tidak akan merasa terganggu sama sekali kalau dia tahu bahwa anaknyalah yang datang mengusik tidurnya.
Beberapa kali aku menggoyang-goyangkan tubuhnya. Memanggilnya dari dekat telinganya. Berharap dia bisa mendengarku. Namun ibu tak meresponku sama sekali. Bergerak pun tidak. Ku tatap wajahnya dalam-dalam. Wajah yang tetap bersahaja sama seperti dulu. Tapi mengapa tangannya menjadi dingin ? apakah ibu sakit ? Aku memanggilnya sekali lagi, tapi tetap tak ada jawaban. Hanya kesunyian yang merasukiku. Sampai akhirnya aku pun tahu dan sadar.
Sosok yang terbaring di hadapanku ini adalah sosok ibu yang sangat aku rindukan. Ibu yang sangat tabah dan tegar. Ibu yang tak pernah aku dengar suara kerasnya. Dan juga ibu yang sekarang masih menyunggingkan sedikit senyum di bibirnya walaupun ku dapati sudah tak bernyawa. Ibu telah pergi malam itu. Meninggal.
Aku menangis. Ketegaran sebesar apapun malam itu tak mampu melarang air mataku untuk tumpah di depan jasad tak bernyawa yang sangat aku rindukan. Aku menyesal tak bisa melarang Izroil untuk menunda kepergian ibuku karena aku telah berjanji akan datang padanya di purnama ke enam malam ini. Dan pula, aku belum sempat mencium tangannya dan mengucapkan terima kasih padanya atas segala doa dan kasih sayangnya yang tak ternilai dengan apapun.
Ibu,..apakah enam purnama bagimu terlalu panjang untuk menunggu. Bukankah sebelum kakiku menuruni tangga terakhir surga kecil kita ini, aku telah bersumpah bahwa aku pasti akan kembali untuk menemui ibu. Dan pun itu aku lakukan, sebelum bayangku menghilang di ujung desa, bahwa aku pasti kembali. Dan kini, aku telah kembali, untuk memenuhi janjiku.
Bukankah ibu ingin sekali melihat lembaran kertas yang bernama ijazah ? Bukankah ibu ingin sekali meletakkan fotoku dengan toga kebesaran di setiap sisi dinding rumah kita agar semua orang tau, bahwa itu adalah foto putra kesayangan ibu ? dan juga bukankah ibu ingin melihat foto seorang wanita yang suatu hari ku harap ibu bisa memanggil cucu kepada putra putrinya ? Semuanya telah aku penuhi. Tak inginkah ibu melihatnya sekali saja..?
**
Di bawah tangisan langit, ku terpekur sendiri di depan gundukan tanah merah bertabur seroja. Ibu…maafkan aku. Untuk kali ini aku tak bisa memenuhi permintaan ibu untuk tidak menangisi jasad yang meninggal. Karena ibu pernah berkata, bahwa meninggalnya seseorang juga karena kecintaan Allah kepadanya. Semoga di alam sana, Allah memberi ibu sepasang sayap, sehingga ibu pun bisa datang menemuiku di kala ibu merindukanku. Biarlah kita bercakap-cakap sesaat di atas sepasang bangku itu, dengan ditemani singkong rebus dan teh hangat buatanku seperti yang biasa kita lakukan. Selamat jalan malaikatku yang tak bersayap…… END...
Selayar, 2009
November 23, 2009
Posted in |
Cerpen
|
6 Comments »
6Komentar:
NiOriGinaL...
Walaupun sebeNarx iBuku maSih hiDup...
cUma aYah yG daH meNingGal SeJak Q masih
keCiL...
:f
terharu saya membacanya...
lam kenal, blognya keren.. ada jeruk dan orange pula.. i love orange...
hehehe...maKAsih mBaK...
saLam keNaL baLik...
maLas gaNTi2 teMpLate..jadi yaH...
yaNg iTu aJah...
waLaupUn kEsaNx jadi cWe baNget...
^___^